Berawal pada tanggal 22 April 1970 sekitar 20 juta warga Amerika Serikat turun ke jalanan melakukan aksi protes dan berdemonstrasi menyuarakan kepedulian terhadap kesehatan dan lingkungan hidup. Aksi tersebut menandai pertama kalinya Hari Bumi diperingati dan selanjutnya setiap tanggal 22 April ditetapkan sebagai Hari Bumi sedunia yang diperingati tiap tahun. Jauh hari sebelum Hari Bumi ini diperingati, Gaylord Nelson seorang senator AS sang penggagas aksi dianggap bahwa ide ini hanyalah hal tak penting, omong kosong, tak layak diperhatikan, dan hanya dipandang sebelah mata.
Namun hingga kini pun banyak sebagian besar dari kita masih meragukan apakah memang benar bumi ini telah renta karena tidak berimbangnya pemanfaatan sumber daya yang terus dikeruk demi kepentingan manusia dibandingkan upaya manusia untuk tetap menjaga kelestarian dari sumber daya alam ini.
1. Hutan
Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia memiliki hutan seluas 126,8 juta hektare, dengan penyebaran terbesar ada pada pulau Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Sangat ironis, karena disaat yang sama Walhi mencatat bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2 juta hektare per tahun. Hutan-hutan dibabat sembarangan dengan dalih untuk kepentingan industri, pertambangan, pemukiman, pembalakan liar, hingga pembabatan hutan sebagai ladang korupsi.
2. Sungai
Dewasa ini sungai adalah solusi instant untuk pembuangan limbah, baik limbah dari pabrik maupun limbah rumah tangga. Pembuangan sampah dan limbah ke sungai mengakibatkan rusaknya ekosistem sungai, habitat yang tercemar juga mengakibatkan populasi sejumlah organisme pun menyusut.
3. Laut
Dengan keadaan sungai yang tercemar dan aliran sungai yang akan bermuara dan berkumpul di laut, maka pencemaran ini akan dapat membunuh sejumlah biota laut maupun plankton-plankton yang merupakan makanan bagi ikan. Kondisi pelabuhan yang kotor pun turut memperparah pencemaran di laut, perilaku pembuangan residu bahan bakar atau limbah mesin ke laut sangat membahayakan bagi kelestarian terumbu karang yang penting untuk mengurangi abrasi. Pembabatan areal mangrove hanya untuk digunakan sebagai tambak pun turut menyebabkan tidak terkontrolnya keseimbangan ekositem laut.
4. Tanah
Kebiasaan manusia menggunakan plastik tak berimbang dengan pengolahan daur ulang limbah plastik. Membuang sampah plastik dengan sembarangan sangat mengurangi tingkat kesuburan tanah, karena plastik tidak akan terurai dalam waktu kurang dari seratus tahun. Penambangan di pegunungan atau perbukitan seringkali tidak memperhatikan aspek lingkungan hingga menyebabkan tanah longsor. Penjualan pasir-tanah ke luar negeri adalah langkah yang memalukan, karena pulau akan terkikis dan akan mengakibatkan hilangnya pulau dalam waktu ke depan.
5. Udara
Asap pabrik yang langsung dibuang ke udara sering kita jumpai di kawasan industri, hingga kini pun belum ada langkah nyata pengolahan limbah ini. Gedung-gedung bertingkat di kota-kota besar banyak menjulang menghiasi di tiap sudut kota tak diimbangi dengan penataan ruang hijau. Efek rumah kaca yang mengakibatkan radiasi sinar matahari terperangkap dalam atmosfir kita. Kondisi yang lazim dialami kota-kota besar adalah kemacetan, asap kendaraan dari kemacetan ini juga membumbung memenuhi udara sekitar. Lebih parah lagi bila musim kampanye pilkada atau pemilu, maka jalanan akan macet lebih parah daripada biasanya dikarenakan iring-iringan rombongan kampanye.
Secercah harapan
“Menebar angin, menuai badai”, ungkapan ini sangat menyesakkan apabila dikaitkan dengan pencemaran yang terjadi disana-sini. Dari pencemaran yang kita anggap remeh, maka semakin lama akan menimbulkan dampak yang lebih besar bila dibiarkan tanpa solusi. Sikap kurang kepedulian dan enggannya turut menjaga lingkungan akan menggiring kita pada kenyataan akan menuai “badai”. Pemanasan global adalah kenyataan yang harus kita terima apabila kita tidak mulai memperbaiki semuanya dari sekarang.
Ditengah situasi seperti ini, kita masih bisa sedikit lega mendengar kabar menyejukkan tentang putra Indonesia yang memperoleh penghargaan Goldman Environment Prize. Setelah pada tahun 2009 Yuyun Ismawati dari Denpasar mendapatkan penghargaan internasional tersebut, maka di tahun ini giliran Prigi Arisandi dari Surabaya yang mendapatkan penghargaan tingkat internasional dalam hal pengelolaan lingkungan hidup tersebut.
Apakah memperbaiki bumi ini hanya tugas mereka berdua ?
Hal ini tak akan berjalan tanpa peran aktif kita semua untuk peduli dengan kelestarian lingkungan kita. Nasib ada ditangan kita saat ini, apakah kita akan mewariskan bumi yang nyaman atau akan mewariskan bumi yang renta ini pada anak cucu kita.
sumber:
http://green.kompasiana.com/polusi/2011/04/22/peringatan-hari-bumi-sedunia-akankah-kita-wariskan-bumi-yang-renta/